Laman

Minggu, 26 Oktober 2008

Gelembung Laba Wartel Esia

Di tengah belantara wartel dan ponsel, Esia membuka kesempatan menjadi pengusaha warung halo-halo. Modalnya memang relatif minim. Bagaimana peluangnya? Monopoli? Sori, deh, basi banget, apalagi di sektor telekomunikasi. Tengok saja industri telepon seluler yang dari orok sudah mengenal persaingan. Hal serupa terjadi pada telepon tetap tanpa kabel (nirkabel) yang berbasis code division multiple access alias CDMA.

Dalam waktu singkat tiga operator brojol: Telkom Flexi, Esia, dan StarOne. Begitu juga yang terjadi pada bisnis turunan operator telekomunikasi, yakni warung telekomunikasi (wartel). Setelah sekian lama dikuasai Telkom, operator lain mulai memasuki bisnis wartel. Sebut saja Ratelindo, Wartel Pasti (PSN), dan Warsel (Indosat). Telkom sebagai raja diraja wartel pun tak mau kalah. Mereka membesut FlexiWalk, FlexiDarling 2U, dan FlexiDarling 4U.

Ketiganya merupakan wartel bergerak Flexi. Untuk wartel yang sifatnya tetap, Telkom menamakannya sebagai Wartel Flexi. Nah, sehubungan dengan berganti bajunya Ratelindo menjadi Esia, perusahaan Grup Bakrie ini juga berencana mengubah Wartel Ratelindo menjadi Wartel Esia.

Dus, Esia juga menawarkan kesempatan kerja sama pada masyarakat, yakni usaha Wartel Esia. Lo, bukannya wartel kan sudah begitu berjejal? Memang, sih. Namun, manajemen Esia yakin, bisnis yang mereka tawarkan tetap menarik lantaran ada nilai plusnya. "Tarif kami menarik," tegas Charles Sitorus, Vice President Retail Sales PT Bakrie Telecom. Wartel Esia bakal mengikuti aturan tarif talktime yang baru saja mereka lansir. Ini tawaran yang cukup menarik. Bayangkan, Esia menawarkan tarif telepon ke luar negeri (SLI) hanya Rp 1.188 semenit dan telepon sesama Esia di mana pun hanya gocap per menit.

Eh, tapi bagaimana dengan banyaknya pengguna ponsel, telepon rumah, dan telepon koin? Bukankah ini akan menipiskan peluang warung Esia? "Sekarang ini ada televisi, tapi orang tetap membaca koran, kan?" kata Charles bertamsil. Maksudnya, semua sarana telekomunikasi mempunyai segmen sendiri-sendiri. Tetap saja akan ada orang yang membutuhkan wartel untuk berkomunikasi. "Orang kan ke wartel untuk mengontrol tagihan telepon mereka," lanjut Charles. Dengan berbagai asumsi itu, Esia yakin wartel masih menjadi lahan bisnis yang menarik.

Kalau Anda berminat, Esia mempunyai dua jenis wartel. Pertama, Wartel Esia secara resmi. Syaratnya, Anda harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan usaha, baik itu berbentuk PT, CV, ataupun badan usaha lainnya. Nah, kalau semua itu sudah beres, tinggal mengajukan izin ke Esia. Untuk dua kamar bicara umum (KBU), biaya pendiriannya Rp 2,5 juta. Tiga KBU, biayanya Rp 3,5 juta, dan empat KBU Rp 4,5 juta. Biaya ini belum termasuk komputer dan printer. Di samping itu, Anda juga mesti menyiapkan duit untuk sewa tempat, renovasi, sofa, dan kipas angin.

Kalau sudah berdiri, Anda bakal memperoleh bagi hasil yang bervariasi di kisaran 30%- 40% dari total percakapan di luar air time. Khusus SLI, pengusaha bakal memperoleh bagi hasil 8%. Kalau tagihan di bawah Rp 1 juta, pengusaha mendapat jatah 30%. Penghasilan di atas Rp 1 juta sampai Rp 2,5 juta mendapat bagian 35%. Di atas Rp 2,5 juta, 40% tagihan menjadi hak pengusaha. Sebagai promosi, Esia akan memberi bantuan berupa spanduk dan brosur. "Esia juga menyediakan kredit lewat lembaga pembiayaan yang bekerja sama dengan kami," terang Charles.

Tarif bicara bisa di-mark-upTipe wartel kedua adalah Wartel Mandiri. Tipe ini pada dasarnya adalah pelanggan Esia biasa, namun memfungsikan dirinya sebagai wartel. Untuk itu tak perlu tetek-bengek NPWP badan usaha. Namun, tentu saja Wartel Mandiri ini tak mendapatkan bagi hasil seperti Wartel Esia resmi. Pemasukan mereka hanya berasal dari tarif Esia yang di-mark-up. Namun, sebenarnya ada juga wartel resmi Esia yang tetap me-mark-up tarifnya. Dengan begitu hasil yang mereka peroleh bisa lebih besar lagi. "Kami bisa dapat 50% dari total tagihan dengan adanya mark-up," bisik seorang pengusaha wartel yang tak mau disebut namanya. Menurut Sarwo Edi Rizal, seorang pengusaha wartel Esia, kendati berat, bisnis wartel ini masih menyisakan sedikit peluang. "Enaknya Esia itu teknologinya oke dan sudah tembus Bogor," ungkapnya.

Dengan begitu, pemakai wartel Esia bisa menelepon dari Kota Hujan itu ke Jakarta dengan tarif lokal. Di samping itu, untuk mendukung usaha wartel perlu juga berjualan voucher isi ulang. "Yah, untuk menarik pelanggan-lah. Ini kan bisnis kerumunan, tak ada skill, siapa pun yang punya modal bisa masuk," tukas Sarwo Edi. Berdasar pengalaman pemilik lima wartel ini-dia punya tiga wartel Flexi dan dua Esia-dengan pemasukan Rp 200.000 sehari, wartel Esia bisa balik modal dalam tempo 7-8 bulan. Jika pengusaha hanya mampu menarik omzet Rp 100.000 sehari, titik impasnya molor sampai 1,5 tahun.

Menarik juga. Tapi, simak juga hambatan nonteknis dari wartel Esia ini. "Interkoneksinya suka di-mampetin Telkom. Pada saat ramai-ramainya, yakni jam 7 sampai jam 9 malam, pelanggan wartel tak bisa menelepon," keluh pengusaha yang tak mau disebut namanya tadi. Nah, lo, katanya sudah enggak ada monopoli?

Tidak ada komentar: